Lapangan SMA Santa Maria Cirebon 2014 |
Kehadiran
suster-suster itu di Cirebon , sesuai dengan rencana yaitu akan
mengurus sekolah-sekolah katolik yang ada di Paroki Santo Yosef Cirebon.
Ada sebuah sekolah Katolik yang sudah berdiri pada waktu itu, yaitu SD
yang khusus bagi anak-anak Belanda.
Tahun
1935, suster-suster Ursulin mendirikan sekolah baru yaitu sebuah Taman
Kanak-Kanak (TK) dan sebuah sekolah Dasar yang menampung murid-murid
penduduk asli Cirebon . Dan diresmikan pata Tgl. 6 September 1935,
dengan nama Maria School .
Rupanya
sekolah yang baru didirikan itu kurang diminati oleh masyarakat pada
tahun-tahun pertama, tercatat jumlah murid untuk TK hanya 18 siswa dan
SD seluruhnya hanya 102 siswa. Akan tetapi pada tahun 1939 Ik 4 tahun
sesudah didirikan sekolah ini dapat berkembang dengan baik, sehingga
kebutuhan akan sarana sekolah semakin terasa. Oleh karena itu pada tahun
itu juga dibangunlah sebuah aula ( sebelah timur, sekarang aula SMA )
dan 5 lokal kelas yang baru. Pembangunan itu dilaksanakan oleh seorang
tuan yang bernama DIMAS.
Pada
awal tahun 1940 dibangun sebuah aula TK untuk bermain anak-anak dan 4
lokal kelas tempat belajar. Pada tahun yang sama meletus Perang Dunia
II, sehingga kegiatan sekolah itu terhenti karena seluruh gedung Maria
School dipergunakan untuk markas Belanda.
Pada
tahun 1942, Jepang mendarat di Indonesia , rupanya Cirebon menjadi
salah satu kota sasaran pendaratan. Tentara Jepang mendarat di Eretan
Indramayu, kemudian dari sana bergerak terbagi dua, sebagian ke Ciater
Lembang Bandung dan sebagian lagi bergerak ke Cirebon .
Di
Cirebon, mereka melakukan operasi pembersihan orang Belanda.
Suster-suster Ursulin yang berkebangsaan Belanda, Pastor-pastor,
orang-orang terkemuka, termasuk pegawai-pegawai tinggi pemerintahan,
ditawan. Mula-mula ditempatkan di penjara Kesambi, namun tidak berapa
lama dipindahkan ke kompleks Susteran Ursulin, menggunakan lokal-lokal
kelas. Suster-suster yang ada di tempat itu mengungsi sementara, di
pastoran Jl. Cangkol 20 ( Jl. Yos Sudarso sekarang ). Demikian pula
kegiatan pendidikan, untuk sementara seluruhnya dipindahkan ke pastoran.
Tidak begitu lama setelah kejadian itu datanglah Pastor REICHERT, OSC
dari Bandung . Pastor itu dapat bertugas dengan agak leluasa karena
beliau kelahiran Jakarta . Kehadiran Pastor itu rupanya diketahui oleh
pimpinan pusat suster-suster Ursulin, sehingga suster-suster yang
mengungsi di pastoran itu ditarik ke biara pusat yang berada di Jl. Pas
Jakarta Pusat, dan selanjutnya Pastoran berfungsi seperti semula.
Pada
tahun 1945 perang selesai, rupanya Jepang bertekuk lutut di mana-mana.
Perlucutan senjata oleh TNI dilakukan di seluruh tempat yang dijadikan
markas-markas pertahanan tentara Jepang. Seluruh kekuatan diambil alih
oleh Tentara kita, termasuk bekas kamp penahanan di Jl. Pesisir 32,
dalam beberapa saat saja dapat dikuasai dengan mudah oleh tentara kita,
dan kemudian dipakai oleh MOBIL BRIGADE.Harapan sekolah untuk mendapatkan gedung sendiri, ternyata mendapat karuni Tuhan melalui Bunda Maria.Seperti telah diuraikan pada bagian awal riwayat ini, sebelum Jepang menguasai negara kita, sebuah gedung biara plus sekolah telah berdiri di Cirebon . Gedung itu milik SUSTERS RELIGIEUSE URSULINEN. Letaknya di Jl. Pesisir 32. Setelah Jepang masuk, seluruh gedung dikuasainya, digunakan untuk kepentingan militer.
Pada jaman federal sewaktu Belanda ( Serdadu KL Kerajaan ) menduduki Cirebon , maka gedung itu diambil alihnya, digunakan sebagi markas dan Asrama Serdadu KL. Secara kebetulan komandan Belanda itu beragama Katolik sehingga hubungan dengan Pastor Paroki lebih dekat. Lebih-lebih sejak Pastor Dohne menjabat sebagi Kepala Paroki, mana ada kesempatan baik, secara lobbying kekeluargaan umat seiman menjajagi dapatnya sebagian dari gedung biara diberikan kepada SMP Santa Maria yang sangat terdesak membutuhkan tempat belajar sendiri. Berkat kekuasaan Roh Kudus, maka Pastor Dohne diberi ijin oleh Tentara KL Belanda, untuk memindahkan SMP Santa Maria ( 2 kelas I ) ke sayap kiri gedung. Supaya tidak bercampur aduk dengan serdadu KL, maka lokal yang digunakan sebagai kelas diberi berpagar kawat berduri atas usaha tentara KL. Walaupun kadang-kadang terasa seperti berada di kamp interniran, akan tetapi kegembiraan selalu mewarnai suasana di sekolah itu. Karena bagaimanapun juga, setidak-tidaknya SMP Santa Maria mendekati kemandirian. Dan sejak itu pula harapan perluasan dan peningkatan mulai tumbuh, apalagi sesudah para pendiri tahu bahwa tidak lama lagi gedung itu akan segera ditinggalkan oleh Serdadu Belanda. Ini terjadi pada tahun 1950, bulan Oktober.
PEMIKIRAN TENTANG PENGELOLAAN SEKOLAH SANTA MARIA OLEH TANGAN-TANGAN YANG PROFESIONAL
Waktu berjalan terus, situasi dan pemerintahan di tanah air ini berkembang ke arah yang baik. Pemerintah RIS ( Federal ) mulai mengarah ke bentuk Negara Kesatuan. Oleh karena itu Bpk. Rig yang banyak berkecimpung dalam Partai Katolik, membaca situasi, sehingga timbullah pemikiran bagaimana sebaiknya pengelolaan SMP Santa Maria selanjutnya oleh Badan/Instansi yang professional dan menjadikan penopang kokoh bagi Gereja di Cirebon.
Bapak Rig. sendiri tidak berambisi untuk mengelola SMP Santa Maria untuk seterusnya, oleh sebab beliau terikat dengan status Pegawai Negeri RI . Maka bersama dengan Pimpinan Gereja beliau menjajagi kemungkinan-kemungkinan yang akan membawa kejayaan sekolah demi tegaknya Gereja. Prospek yang cerah dari sekolah agaknya pantas ditawarkan kepada pemilik gedung lama, yaitu Terekat SUSTERS URSULINE yang berpusat di Bandung . Namun ternyata, menurut Pimpinan Gereja, Suster-suster Ursulin sudah tidak berminat lagi membuka cabangnya di Cirebon, karena Bandung sendiri masih merupakan ladang Tuhan untuk berkarya.
Pikiran kedua jatuh kepada SUSTERS DOMINIKANES di Cimahi Bandung . Akan tetapi berita yang diterima Cirebon dari Wali Gereja Bandung ialah, masih ada keragu-raguan dari Cimahi untuk menyanggupi menerima penyerahan SMP Santa Maria yang baru satu setengah tahun didirikan. Yang menjadi alasan ialah tempat tinggal dan yang terutama masalah keamanan. Karena gedung biara/sekolah bagian belakang tinggal puing-puing dan reruntuhan tembok sehingga perbatasan dengan kampung menjadi terbuka dan "rawan". Dengan demikian Cirebon perlu meyakinkan Suster-suster Dominikanes bahwa masalah ketertiban dan keamanan akan segera membaik sejalan dengan perkembangan situasi negara.
Keadaan sudah mendesak. Kedaulatan Republik Indonesia sudah penuh.
Serdadu KL telah ditarik dari gedung dan akan diisi oleh Brigade Mobil Polisi RI . Kelas-kelas yang kosong yang ditinggalkan Belanda, segera diisi oleh Sekolah Dasar kita secara terburu-buru. Sementara itu Wali Gereja di Bandung telah menghubungi Jendral Ordo Salib Suci di Nederland, untuk sudi mengunjungi Cirebon serta memberi dukungan, agar Suster-suster Dominikanes bersedia menerima penyerahan sekolah-sekolah Katolik, khususnya SMP Santa Maria.
Hampir setengah mukjijat telah terjadi, yaitu Romo Jendral OSC Mgr.DR.VAN HEES, OSC sungguh sudi dating di Bandung dan meninjau sekolah Santa Maria Cirebon.
Kehadiran beliau disambut dengan meriah oleh para murid dan guru, bertempat di suatu aula sekolah. Pertemuan resmi tersebut dipimpin oleh Romo J. Dohne selaku Kepala Paroki dan Pengurus Sekolah. Sesuatu yang berkesan sampai sekarang. Kata sambutan ucapan selamat datang dan harapan sekolah, dibawakan oleh seorang siswi kelas II SMP bernama HELENA SOUW, dalam bahasa Inggris, karena yang mampu berbahasa Belanda tidak ada.
Pengaruh dari kunjungan Mgr. Van Hees sangat besar dan positif. Beberapa hari kemudian, datanglah kabar gembira, bahwa seluruh administrasi persekolahan, yang menyangkut siswa, Inventaris alat-alat, keuangan, dan gedung sekolah supaya dipersiapkan untuk diserahterimakan kepada Suster-Suster Dominikanes sebagai yang akan menjadi pengelola baru.
Maka pada tanggal 21 Juli 1950 datanglah 6 orang suster yang akan berkarya di Cirebon. Keenam suster itu ialah : SUSTER HUBERTINE, SUSTER LUDOVICA, SUSTER BERNADETTE, SUSTER ROSA, SUSTER FRANSISKA, dan SUSTER MARIE YOSE ( Diantara Suster-Suster itu yang diketahui masih hidup Suster Ludovica di Negeri Belanda )
Pada saat suster-suster pertama itu datang di Cirebon terdapat sedikit kesulitan, karena gedung induk yang dikosongkan oleh Tentara Belanda telah diisi oleh Mobil Brigade Kepolisian RI . Oleh karena itu ditempuhlah jalan tukar tempat dengan para pastor. Para suster menempati Pastoran Jl. Cangkol 22, sedangkan para Pastor menempati suatu pavilyun dekat gedung induk di sekolahan.
Akhirnya acara serah terima pun dapat berjalan dengan lancar, mulus tanpa suatu permasalahan. Sejak itu SMP Santa Maria menjadi milik Susteran Dominikanes, segalanya sudah diatu oleh pengurus baru. Sebagai Kepala Sekolah oleh Pengelola baru ditunjuk SUSTER MARIE YOSE ( Sr. Liem Hwan Sian ) dan wakilnya SUSTER LUDOVICA. Selanjutnya dengan perubahan yang sedikit saja, para guru bekerja seperti biasa.
Sebagai sebuah sekolah swasta yang sedang berkembang, bagaimanapun juga memerlukan pelindung agar dapat berkembang dengan sebaik-baiknya. Menurut keterangan sejak tahun 1950 (sesudah pengelolaan di tangan para Suster Dominikanes) Suster-Suster Dominikanes menggabungkan SMP Santa Maria ke dalam YAYASAN SALIB SUCI yang sudah lebih besar dan lama berkembang, yang berpusat di Jl. Van de Venter Bandung, akan tetapi demikian, untuk fungsi intern sifatnya mengatur sendiri, segala keperluan sendiri diatur sendiri, jadi bergabung dengan Yayasan Salib Suci hanya untuk fungsi keluar misalnya berhubungan dengan pihak pemerintah. Proses ini, menurut catatan yang diketahui, berlangsung hingga tahun 1975. Rupanya setelah SMP Santa Maria merasa sudah cukup mandiri, mengatur sendiri, mulailah melepaskan diri dari Yayasan Salib Suci.
source : https://sites.google.com/site/ancientgearyamato/profil-pendiri/sejarah-berdirinya/awalmulaberdirinyasantamariacirebon
nama saya Gideon, saya pindah waktu kls 3 sd. saya org yg pindah ke banyuwangi dri sd santa maria, mungkin banyak yg lupa saya tpi kemungkinan kecil masih ad yg ingat saya.
ReplyDelete